Perkebunan Tembakau
Berbicara tentang sejarah rokok tentu tidak terlepas dari tanaman perkebunan yang bernama tembakau, karena bahan dasar utama rokok adalah tembakau. Konon perkebunan tembakau komersial pertama di Indonesia didirikan pada tahun 1863 oleh seorang petani Belanda, Jacobus Neinhuys, di Deli, Sumatra Utara. Pada saat itu, tembakau lebih ditujukan untuk ekspor, terutama sebagai bahan baku pembuatan cerutu. Namun mulai abad 20, petani lokal mulai mengembangkannya untuk konsumsi di dalam negeri dengan cara menjual hasil panen mereka kepada perusahaan lokal.
Berbeda dengan tembakau pada umumnya, tembakau asal Indonesia terkenal memiliki karakteristik yang sangat khas. Setidaknya terdapat lebih dari 100 varietas tembakau yang tumbuh di Indonesia. Banyaknya varietas ini kemudian juga dibawa dalam proses produksi rokok di mana kita bisa menemukan kurang lebih tiga puluh jenis tembakau berbeda dalam satu batang rokok. Bandingkan dengan jenis rokok putih yang hanya terdiri dari dua kategori: Virginia blends, yang menggunakan hanya tembakau Virginia; dan American blends, yang mencapur tembakau Virginia dengan jenis Burley dan Oriental.
Perkembangan Rokok Di Indonesia
Produk rokok pertama di Indonesia lahir pada awal abad tujuh belas bernama ”bungkus”. Ia dibuat dari tembakau lokal berwarna coklat yang dibungkus dengan kulit jagung atau daun pisang dan diikat tali. Karena proses pembuatannya yang masih manual, rokok saat itu juga biasa dikenal sebagai tingwe (singkatan dalam bahasa Jawa yang artinya ngelinting dewe atau ”menggulung sendiri”). Rokok yang aslinya berasal dari Maluku ini mulai masuk ke Jawa pada pertengahan abad delapan belas. Penghasil tembakau utama saat itu adalah Sumatera, Bali, Lombok, dan Jawa (khususnya Temanggung) dengan lahan siap panen lebih dari 250 ribu hektar.
Setelah bungkus, merek berikutnya berasal dari Sumatera. Berbeda dengan bungkus, merek ini lebih dekat dengan rokok karena dibungkus dengan daun kering nipah yang mana pada saat itu rokok umumnya dibungkus dengan daun jagung atau daun pisang. Dengan sedikit pergeseran arti, kedua istilah tersebut—bungkus dan rokok—masih digunakan hingga kini. Bungkus diartikan sebagai kemasan, sedang rokok adalah isinya.
Pada abad sembilan belas, bungkus mulai menghilang dari pasaran dan digantikan dengan dua merek baru, yakni strootje, yang artinya rokok batangan (straw cigarette), dan klobot (atau kelobot), berasal dari bahasa Jepang yang artinya bungkus jagung. Meningkatnya permintaan membuat kedua jenis rokok tersebut mulai diproduksi secara massal pada tahun 1850. Dimulai dari industri rumah tangga, strootje dan klobot berkembang menjadi rokok komersial pertama yang muncul di Indonesia.
Arti lain dari hadirnya rokok (cigarette) di Indonesia adalah bahwa ia menggantikan kebiasaan lawas masyarakat mengunyah sirih (betel). Rokok dapat menjadi simbol sosial bagi kalangan ningrat sebagaimana ia juga bisa menjadi pemuas waktu senggang kasta pekerja. Rokok juga bisa memenuhi kebutuhan orang tua akan ketenangan batin, sementara di sisi lain ia mampu memberikan kepada anak muda kebanggaan diri.
Beberapa waktu setelah rokok sukses menjadi barang komersial menggantikan sirih, seorang haji bernama Djamari yang tinggal di wilayah Kudus melakukan eksperimen yang di kemudian hari mengubah garis sejarah perkembangan rokok di Indonesia.
Demi mengobati rasa sakit di dadanya, ia meramu obatnya sendiri dengan cara mengkombinasikan antara rokok dan cengkih. Rokok berbahan baku tembakau dan cengkih ini ternyata disukai masyarakat. Namun Djamari meninggal tahun 1890 tanpa sempat melihat inovasinya berkembang menjadi produk mega-komersial seperti sekarang. Sebagian besar pengusaha rokok meyakini bahwa penemuan Djamari terjadi antara 1870 – 1880. Setelah kematiannya, beberapa kenalan Djamari menggantikannya memproduksi kretek. Namun, baru satu dekade setelah kematian sang penemu, kretek menjadi komoditas industri skala luas.
Di masa awal kelahirannya, seperti bungkus, strootje, atau kelobot, tampilan kretek masih sederhana; umumnya menggunakan bungkus jagung atau daun kawung. Ketika dijual, paket yang ditawarkan biasanya berisi 10-20 batang per ikat tanpa menggunakan kemasan pembungkus. Cara penjualan waktu itu juga masih kecil-kecilan bermodalkan promosi dari mulut ke mulut (word of mouth). Karena pola kehidupannya masih subsisten, kebanyakan penjual sekaligus merupakan konsumen (karena itulah disebut tingwe). Kalaupun memproduksi lebih, umumnya merupakan industri rumah tangga skala kecil.
Dari tiga unsur utama pembentuk kretek—cengkih, tembakau, dan saus—dua unsur yang pertama merupakan komoditi yang krusial bagi hidup-matinya perusahaan rokok. Jika tembakau relatif tumbuh normal dengan stok yang selalu tersedia, cengkih menampilkan konfigurasi yang berbeda disebabkan kuatnya kepentingan politik dan ekonomi atasnya.
*Tulisan diambil dari buku “4G Marketing: 90 Year Journey of Creating Everlasting Brands” Diterbitkan oleh MarkPlus Publishing, Tahun 2005
Tulisan yang berkaitan dengan sejarah rokok : Sejarah Rokok Sin
Tidak ada komentar:
Posting Komentar